Minggu, 21 Februari 2016

contoh makalah Sejarah Hukum Islam tema Imam Malik bin Annas

Diposting oleh Unknown di 23.26


KONSTRUK PEMIKIRAN HUKUM IMAM MALIK BIN ANNAS
Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah
Sejarah Hukum Islam
Dosen Pengampu : Dr. H. Syufa’at, M.Ag.
Oleh
Indah Nur Awal H. R.                        (1423202019)

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARI’AH
FAKUTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI
PURWOKERTO
2015


 
KONSTRUK PEMIKIRAN HUKUM IMAM MALIK BIN ANNAS

Pendahuluan
Berkembangnya dua aliran ijtihad rasionalisme dan tradisionalisme telah melahirkan madzhab-madzhab fiqh Islam yang mempunyai metodologi kajian hukum serta fatwa-fatwa fiqh tersendiri, dan mempunyai pengikut dari berbagai lapisan masyarakat. Secara garis besar, dikenal dua madzhab fiqh yaitu madzhab Sunni dan madzhab Syi’i. Di kalangan Sunni, terdapat empat madzhab yang sampai sekarang masih memiliki banyak pengikut di seluruh dunia, antara lain Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Masing-masing madzhab ini memiliki dasar-dasar dalam peikiran hukumnya.
Dalam makalah ini, akan membahas lebih lanjut mengenai konstruk pemikiran hukum Imam Malik Ibn Annas, antara lain :
1.      Biografi Malik Ibn Annas
2.      Dasar hukum yang dijadikan hujjah oleh Imam Malik
3.      Konstruk pemikiran Malik Ibn Annas
4.      Shahabat-shahabat Malik Ibn Annas dan pengembang-pengembang madzhabnya




KONSTRUK PEMIKIRAN HUKUM IMAM MALIK BIN ANNAS
1.      Biografi Imam Malik Ibn Annas
Malik Ibn Annas bin Malik bin Abi ‘Amir bin ‘Amar (93-179H) adalah seorang faqih kelahiran Madinah dari ras Arabia Selatan, karena kedua orang tuanya berasal dari Yaman. Ayahnya bernama Annas bin Malik berasal dari kabilah Ashbah, sedang ibunya bernama al-‘Aliyah dari kabilah Azad. Malik lahir dari keluarga pengrajin. Ayahnya seorang pengrajin panah, namun tidaak ada seorang pun dari putranya yang meneruskan tradisi usaha ayahnya itu. Bahkan salah seorang dari putranya itu (saudara Malik) bergerak dalam sector perdagangan, dan Malik turut bekerja sama dengan saudaranya itu, sehingga dia bisa mandiri sebagai pedagang kain sutra.
Pada usia remaja, ia mulai menghafal Al-Qur’an dan menjadi seorang Hafidz yang baik. Kemudian, dia minta saran pada ibunya tentang apa yang harus segera ia pelajari, dan siapa guru yang harus dia datangi. Ibunya menyarankan agar dia belajar fiqh rasional dari dari Imam Rabi’ah al-Ra’yu, yang juga berada di Madinah. Kemudian, dia juga memantapkan ilmunya di majlis Yahya bin Sa’id, juga seorang faqih rasional yang dimiliki Madinah.
Di samping mempelajari fiqh dan teori kajian hukum, Malik juga mempelajari fiqh dan teori-teori kajian hadits Nabi antara lain dengan Abdu al-Rahman ibnu Hurmuz, Nafi’ Maula ibnu Umar, Ibnu Syihab al-Zuhri dan Sa’id ibnu Musayyab. Hadits-hadits yang ia terima dari guru-gurunya itu, dituangkan dalam suatu karya besar bernama al-Muwatha yang disusun dengan sistematika fiqh. Malik juga memasukkan tradisi masyarakat Madinah, perkataan sahabat dan tabi’in, dan bahkan fatwa-fatwa sendiri.[1] Karena isi kitabnya itu, Khalifah Harun al-Rasyid pernah menyatakan keinginannya agar buku himpunan hadist hukum yang disusun oleh Malik bin Annas itu dijadikan buku resmi sumber fiqh Islam. Malik sendiri keberatan atas maksud khalifah itu dengan alasan bahwa di setiap tempat telah ada ahli hukum yang mempunyai pandangan sendiri tentang sumber hukum fiqh Islam selain Al-Qur’an. Penolakan ini berarti pula bahwa Malik ibn Annas menghargai keanekaragaman sumber hukum dalam pemecahan masalah pada situasi dan kondisi yang berbeda. Walaupun demikian, al-Muwatta’ dipakai juga oleh para hakim dalam menyelesaikan suatu perkara. Hakim Pengadilan Agama Jakarta, misalnya mempergunakan al-Muwatta’ sebagai sumber pengenal hukum Islam dalam memutuskan perkawinan Megawati-Hasan Gamal pada tanggal 17 Juli 1972. Kasus Megawati ini ramai dibicarakan oleh para ahli hukum Islam pada akhir tahun 1972 sampai awal tahun 1973.[2]

2.      Dasar hukum yang digunakan oleh Imam Malik
a.       Al-Qur’an
Malik menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber hukum yang pertama dan berada di atas yang lainnya, karena dalam Al-Qur’anlah tertuang semua ketentuan hukum syara’ bagi orang-orang mukallaf, yang ditetapkan langsung oleh syar’i. Al-Qur’an memaparkan ketentuan-ketentuan hukum yang sudah jelas dan pasti, seperti ayat-ayat muqadarah, dan ada pula yang perlu penjelasan Rasul. Kemudian, ketentuan-ketentuan hukumnya itu juga dapat dijadikan rujukan dalam kajian analogis, serta ada pula yang memberikan legalitas terhadap pemakaian metode-metode kajian hukum tertentu.
b.      Al-Sunnah
Al-Sunnah merupakan sumber hukum ke dua setelah Al-Qur’an, karena fungsi utamanya adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an yang mujmal, kendati dalam beberapa hal Al-Sunnah menerapkan hukum tersendiri tanpa terkait pada Al-Qur’an. Malik lebih mengutamakan sunah mutawatir, kemudian yang masyhur. Sedang hadits-hadits ahad ia tinggalkan kalau bertentangan dengan tradisi masyarakat Madinah. Tapi kalau tidak, dan norma-norma adat masyarakat Madinah itu tidak memberikan jawaban apa-apa terhadap persoalan-persoalan furu’ yang dihadapinya, ia akan pergunakan hadits ahad tersebut sejauh ma’mul bih.
c.       Tradisi Masyarakat Madinah
Merupakan sejumlah norma adat yang ditaati seluruh masyarakat Madinah. Oleh sebab itu, tradisi tersebut biasa juga disebut sebagai kesepakatan (ijma) masyarakat Madinah. Norma tersebut diangkat menjadi norma hukum Islam, karena punya akar pada tradisi sahabat di zaman Nabi, dan terus diwariskan pada generasi berikutnya secara turun-temurun. Ini menurut Malik lebih baik daripada hadits ahad, sesuai dengan doktrin Rabi’ah, bahwa “seribu dari seribu lebih baik daripada satu dari satu”.
d.      Fatwa Sahabat
Malik merujuk pada fatwa-fatwa sahabat, bahkan menurut Abu Zahrah, Malik melihatnya sebagai hadits. Namun konsekuensinya, hadits seperti ini lemah karena sanadnya terhenti pada sahabat. Oleh sebab itu, kalau bertentangan dengan hadits marfu’, otomatis hadits-hadits tersebut tertolak.
e.       Qiyas, Maslahah al-Mursalah dan Istihsan
Setelah Al-Qur’an dan Al-Sunnah tidak bisa menjawab persoalan yang ada, begitupun ijma’, serta fatwa sahabat, maka Malik akan mengkajinya dengan Qiyas. Metodologi Qiyas Malik tidak berbeda dengan Abu Hanifah, hanya saja konsep istihsannya berlainan. Kalau Abu Hanifah melakukan istihsan dengan mengalihkan furu’ pada ashal yang lain yang ‘illatnya lemah, tapi hasil hukumnya lebih baik, maka konsep istihsan Malik adalah beralih dari hasil Qiyas pada hasil kajian maslahah. Sementara mashlahah al-mursalah sendiri menurutnya adalah, menetapkan hukum untuk berbagai persoalan temporer dengan mempertimbangkan maqasid al-syari’ahnya, yakni memelihara agama, jiwa, akal, harta dan keturunan, yang proses analisisnya lebih banyak ditentukan oleh nalar mujtahid sendiri.
f.       Al-Dzari’ah
Secara semantic al-dzari’ah berarti sarana. Sedang menurut istilah ahli ushul fiqh adalah sarana atau jalan untuk sampai pada suatu tujuan. Dan tujuan yang dimaksud adakalanya perbuatan-perbuatan taat, dan adakalanya pula perbuatan-perbuatan maksiat. Perbuatan taat berarti mashlahah, sedangkan perbuatan maksiat berarti mafsadah.
Kalau sarana itu membawa pada perbuatan-perbuatan taat, maka harus dibuka peluang untuk melakukannya, yang dalam ilmu ushul lazim disebut sebagai fathu al-dzari’ah. Sedang kalau sarana itu akan membawa pada perbuatan maksiat dan menimbulkan mafsadah, maka sarana itu harus ditutup, yang dalam ilmu ushul lazim disebut dengan sad al-dzari’ah.
Imam Malik, dalam hal ini, sering menetapkan hukum dengan melihat kemungkinan-kemungkinan akibat yang akan timbul dari sesuatu perbuatan. Kalau perbuatan itu kendati hukum asalnya boleh akan menimbulkan mafsadah atau perbuatan-perbuatan maksiat, maka perbuatan tadi hukumnya menjadi haram, tapi kalau akan menimbulka maslahah, maka perbuatan itu tetap boleh, atau bahkan mungkin meningkat menjadi wajib.[3]

3.      Konstruk pemikiran Malik Ibn Annas
Sebagai seorang Faqih, Imam Malik tidak gentar memberikan fatwa sekalipun harus berhadapan dengan khalifah yang berkuasa yang tidak menyukai fatwa tersebut. Pernah dia diminta untuk memberikan fatwa tentang talak yang dijatuhkan karena paksa. Beberapa ulama lain berpendapat bahwa talak secara tadi dianggap sebagai talak yang sesungguhnya sah meskipun dijatuhkan sacara paksa. Dalam hal ini, Imam Malik berkata bahwa talak secara paksa itu tidak sah hukumnya. Ja’far bin Sulaiman, Gubernur Madinah waktu itu dan saudara sepupu Khalifah al-Mansur, memerintahkan Imam Malik agar tidak memberikan fatwa semacam itu. Akan tetapi, Imam Malik tetap memeberikan fatwa sesuai pendapatnya ini sehingga Imam diganjar dengan hukuman cambuk.
Sumbangan terbesar yang sudah diberikan Imam Malik  adalah kodifikasi Fiqh Madinah, kemudian kitab al-Muwatta’. Sebelum Imam Malik menulis kitab al-Muwatta’, ia menulis beberapa kitab antara lain:
a.        Risalah ila Ibn Wahab fi al-Qodri
b.      Kitab al-Nujum
c.       Risalah fi al-‘Aqidah
d.      Tafsir li Gharib Al-Qur’an
e.       Risalah ila Al-Laits bin Sa’ad
f.       Risalah ila Abi Ghisan
g.      Kitab al-Sir
h.      Kitab al-Manasik
Kitab al-Muwatta’ dimulai dengan bab Shalat, dilanjutkan dengan hadist-hadist tentang sendi dan rukun Islam lainnya. Dilanjutkan dengan berbagai aspek hukum sebagaimana yang diajarkan melalui perintah-perintah Nabi SAW, dipahami dan diterapkan oleh para sahabat dan tabi’in. Gaya kitab al-Muwatta’ yang ditulis Imam Malik sedemikian rupa, sehingga dapat membantu pembacanya untuk pertama kali  memahami apa yang dinyatakan Nabi SAW, tentang sesuatu hal.
Dikarenakan sumber mutlak dalam syari’ah yang berasal dari al-Qur’an dan Sunnah, maka setiap hadist yang bertentangan dengan ajaran dan jwa al-Qur’an tidak dipandang sebagai hadist shahih melainkan hanya merupakan kepalsuan. Imam Malik tidak hanya memasukkan pendapatnya sendiri di dalam kitab al-Muwatta’ ini, tetapi ia juga memasukkan pendapat para sahabat dan tabi’in di sana. Karena ada kasus yang tidak terjadi pada masa Nabi tetapi terjadi di masa sesudahnya. Jadi al-Muwatta’ tidak hanya berisi hadist Nabi, melainkan juga memuat fatwa lain karena memang tuntutan masyarakat menghendaki demikian.
Penerapan Imam Malik yang tetap memulai bahasannya tentang masalah hukum dengan mengutip hadist yang sesuai atau penjelasan dari sahabat yang didasarkan pada sumber ini membuat kitab al-Muwatta’ paling otentik dan shahih. Kesungguhan Imam Malik dalam menekuni ilmu fiqh  inilah yang telah menjadikannya sebagai seorang panutan di bidang ilmu Fiqh sehingga ia dikenal sebagai pendiri salah satu Madzhab Fiqh, yaitu Madzhab Maliki.
Madzhab Maliki telah menampakkan teori maslahah mursalah dalam gambaran yang lebih umum. Mereka menjadikan istihsan sebagai cabang dari maslahah mursalah yang dikhususkan untuk keadaan yang berlawanan dengan aturan qiyas, di mana menerapkan maslahah yang berlawanan dengan qiyas dapat menjauhkan kesulitan yang ditimbulkan oleh qiyas. Ketika ide maslahah dalam dalam madzhab Hanafi dianggap sebagai cabang dari istihsan dengan pembagian mereka yang bermacam-macam terhadap istihsan, dan menganggap istihsan darurat sebagai cabang dari istihsan yang berlawanan dengan aturan qiyas karena memelihara kemaslahatan dan menolak kesempitan.
Yang populer dari madzhab Maliki yaitu mereka menganggap maslahah mursalah sebagai sumber tersendiri. Nash-nash syari’ah telah menunjukkan demikian sebagaimana dalam masalah qiyas. Hukum-hukum syara’ dibangun di atasnya ketika dalam suatu peristiwa tidak ditemukan nash syari’ah atau qiyasannya. Maslahah mursalah merupakan dalil ketika tidak ada dalil selainnya. Sebagaimana (maslahah mursalah) berlawanan dengan qiyas yang bersandar kepada nash dalam masalah-masalah yang serupa ketika penerapan qiyas membawa kepada pertentangan dengan maslahah. Ini adalah keadaan yang tampak di sana pandangan terhadap maslahah mursalah  dalam gambaran istihsan yang berlawanan dengan tuntutan qiyas.
Orang-orang yang menjelaskan pendapat mazhab Maliki mengenai istihsan dan istislah, seperti Imam Syatibi Abu Ishak Ibrahim bin Musa, pengarang kitab al-Muwafaqat, menetapkan bahwa Imam Malik memberikan tiga batasan yang dapat meniadakan kekhawatirannya dan mencegah kekacauan berpikir dari jalannya, sehingga criteria maslahah tidak mengikuti hawa nafsu dan syahwat. Tiga batasan tersebut antara lain:
a.       Adanya kesesuaian antara maslahat yang diperhatikan dengan maqashid al-syari’at¸di mana maslahat tersebut tidak bertentangan dengan dasar dan dalil syara’ meskipun hanya satu;;
b.      Maslahat tersebut berkaitan dengan perkara-perkara yang ma’qulat (rasional) yang menurut syara’ didasarkan kepada pemeliharaan terhadap maslahat, sehingga tidak ada tempat (kajian) untuk maslahat dalam masalah ta’abud dan perkara-perkara syara’ yang sepertinya.
c.       Hasil dari maslahah mursalah dikembalikan kepada pemeliharaan terhadap perkara yang daruri (primer) menurut syara’ dan meniadakan kesempitan dalam agama.[4]

4.      Shahabat-shahabat Malik Ibn Annas dan pengembang-pengembang madzhabnya
Banyak ulama dari Timur atau Barat yang berkunjung ke Madinah untuk menerima pelajaran dari Imam Malik. Di antara ulama-ulama Mesir yang berkunjung ke Madinah, ialah:
a.       Abu Abdillah Abdur Rahman ibn Al Qasim Al Utaqy (191H).
b.      Abu Muhammad Abdullah ibn Wahab ibn Muslim (197H).
c.       Asyhab ibn Abdul Aziz Al Kaisi (204H).
d.      Abdullah ibn Abdul Hakam (314H).
e.       Asbagh ibn Farj Al Amawi (226H).
f.       Muhammad ibn Abdillah ibn Abdil Hakam (268H).
g.      Muhammad ibn Ibrahim Al Iskandari yang terkenal dengan Ibnul Mawwaz (269H).[5]

Adapun ulama-ulama yang mengembangkan madzhab Maliki di Afrika Utara, Spanyol ialah:
a.       Abdul Hasan Ali ibn Ziyad at Tunisi (183H).
b.      Abu Abdillah Ziyad ibn Abdir Rahman Al Qurthubi yang terkenal dengan nama Syabthun (193H).
c.       Isa ibn Dinar Al Qurthubi Al Andalusi (212H).
d.      Asad ibn Al Furat (142-217H).
e.       Yahya ibn Yahya ibn Katsir (234H).
f.       Abdul Malik ibn Habib ibn Sulaiman As Sulami (238H).
g.      Sahnun Abdus Salam At Tanukhi (240H).
h.      Abu Marwan Abdul Malik ibn Abi Salamah Al Majisyun (212H).
i.        Ahmad ibn Al Mu’adzdzal bn Ghailan Al Abdy.
j.        Abu Ishaq Isma’il ibn Ishaq Al Qadly (282H).
Fuqaha-fuqaha Malikiyah yang terkenal sesudah generasi di atas, ialah:
a.       Abul Walid Al Bani (403-474H).
b.      Abul Hasan Al Lakhmi (498H).
c.       Ibnu Rusyd Al Kabir (520H).
d.      Ibnu Rusyid Al Hafid (520-595H).
e.       Ibnu Arabi (460-543H).
f.       Ibnu Qasim ibn Jizzi pengarang kitab Al Qawaninul Fiqhiyah (741H).[6]
Pada masa sekarang ini, madzhab Maliki berkembang di Maroko, Aljazair, Tunisia, Libya, dan di pedalaman Mesir, Sudan, Bahrain, dan Kuwait.
Penganut madzhab ini kira-kira berjumlah 45 juta orang.














KESIMPULAN
Malik ibn Annas adalah seorang ulama hadist, seorang faqih, seorang ahl ra’y, seorang yang dikenal sebagai ulama Madinah karena dilahirkan di sana. Ia juga mendirikan Madzhab Fiqh yaitu Madzhab Maliki. Ia menyusun kitab al-Muwatta’ yang otentik serta di dalamnya tidak hanya berisi mengenai hadist Nabi, namun di dalamnya juga terdapat pendapatnya serta fatwa-fatwa para sahabat lain. Dalam menyelesaikan perkara hukum, Imam Malik menggunakan Al-Qur’an, Al-Sunnah, Tradisi Masyarakat Madinah, Fatwa Sahabat, Qiyas, Maslahah al-Mursalah dan Istihsan serta Al-Dzari’ah. Imam Malik juga berhasil mendirikan Madzhab Maliki, yaitu sebuah Madzhab Fiqh besar yang merupakan salah satu dari empat Madzhab terbesar yang masih eksis keberadaannya sampai sekarang dan tersebar di Maroko, Aljazair, Libya, Mesir Selatan, Sudan, Bahrain dan Kuwait.






DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad Daud. Hukum Islam. Jakarta: Rajawali Press. 1998.
Al-Zarqa, Musthafa Ahmad. Hukum Islam & Perubahan Sosial .Jakarta: Riora Cipta. 2000.
Doi, A. Rahman I. Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (syariah). Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2002.
Rosyada, Dede. Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.
Schacht, Joseph. Pengantar Hukum Islam. Jogjakarta: Islamika, 2003.
Shiddieqy, M. Hasbi Ash. Pengantar Ilmu Fiqh. Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Zuhri, Muhammad. Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: Tiara Wacana. 2011.


[1]. Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 145.
[2]. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1998) hlm. 169-170.
[3]. Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 147.
[4]. Musthafa Ahmad Al-Zarqa, Hukum Islam dan Perubahan Sosial  (Jakarta: Riora Cipta, 2000), hlm. 66-67. 
[5]. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh (Jakarta: Bulan Bintang, 1993) hlm. 117.
[6]. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh (Jakarta: Bulan Bintang, 1993) hlm. 118. 

0 komentar:

Posting Komentar

 

it's Incredible ME :D Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review