|
Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah
Sejarah Hukum Islam
Dosen Pengampu : Dr. H. Syufa’at, M.Ag.
Oleh
Indah Nur Awal H. R. (1423202019)
JURUSAN HUKUM EKONOMI
SYARI’AH
FAKUTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGRI
PURWOKERTO
2015
KONSTRUK
PEMIKIRAN HUKUM IMAM MALIK BIN ANNAS
Pendahuluan
Berkembangnya dua aliran ijtihad
rasionalisme dan tradisionalisme telah melahirkan madzhab-madzhab fiqh Islam
yang mempunyai metodologi kajian hukum serta fatwa-fatwa fiqh tersendiri, dan
mempunyai pengikut dari berbagai lapisan masyarakat. Secara garis besar,
dikenal dua madzhab fiqh yaitu madzhab Sunni dan madzhab Syi’i. Di kalangan
Sunni, terdapat empat madzhab yang sampai sekarang masih memiliki banyak
pengikut di seluruh dunia, antara lain Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.
Masing-masing madzhab ini memiliki dasar-dasar dalam peikiran hukumnya.
Dalam makalah ini, akan membahas lebih
lanjut mengenai konstruk pemikiran hukum Imam Malik Ibn Annas, antara lain :
1.
Biografi
Malik Ibn Annas
2.
Dasar
hukum yang dijadikan hujjah oleh Imam Malik
3.
Konstruk
pemikiran Malik Ibn Annas
4.
Shahabat-shahabat
Malik Ibn Annas dan pengembang-pengembang madzhabnya
KONSTRUK
PEMIKIRAN HUKUM IMAM MALIK BIN ANNAS
1.
Biografi Imam Malik Ibn Annas
Malik Ibn Annas bin Malik bin Abi ‘Amir
bin ‘Amar (93-179H) adalah seorang faqih kelahiran Madinah dari ras Arabia
Selatan, karena kedua orang tuanya berasal dari Yaman. Ayahnya bernama Annas
bin Malik berasal dari kabilah Ashbah, sedang ibunya bernama al-‘Aliyah dari
kabilah Azad. Malik lahir dari keluarga pengrajin. Ayahnya seorang pengrajin
panah, namun tidaak ada seorang pun dari putranya yang meneruskan tradisi usaha
ayahnya itu. Bahkan salah seorang dari putranya itu (saudara Malik) bergerak
dalam sector perdagangan, dan Malik turut bekerja sama dengan saudaranya itu,
sehingga dia bisa mandiri sebagai pedagang kain sutra.
Pada usia remaja, ia mulai menghafal
Al-Qur’an dan menjadi seorang Hafidz yang baik. Kemudian, dia minta saran pada
ibunya tentang apa yang harus segera ia pelajari, dan siapa guru yang harus dia
datangi. Ibunya menyarankan agar dia belajar fiqh rasional dari dari Imam
Rabi’ah al-Ra’yu, yang juga berada di Madinah. Kemudian, dia juga memantapkan
ilmunya di majlis Yahya bin Sa’id, juga seorang faqih rasional yang dimiliki
Madinah.
Di samping mempelajari fiqh dan teori
kajian hukum, Malik juga mempelajari fiqh dan teori-teori kajian hadits Nabi
antara lain dengan Abdu al-Rahman ibnu Hurmuz, Nafi’ Maula ibnu Umar, Ibnu
Syihab al-Zuhri dan Sa’id ibnu Musayyab. Hadits-hadits yang ia terima dari
guru-gurunya itu, dituangkan dalam suatu karya besar bernama al-Muwatha yang disusun dengan
sistematika fiqh. Malik juga memasukkan tradisi masyarakat Madinah, perkataan
sahabat dan tabi’in, dan bahkan fatwa-fatwa sendiri.[1]
Karena isi kitabnya itu, Khalifah Harun al-Rasyid pernah menyatakan
keinginannya agar buku himpunan hadist hukum yang disusun oleh Malik bin Annas
itu dijadikan buku resmi sumber fiqh Islam. Malik sendiri keberatan atas maksud
khalifah itu dengan alasan bahwa di setiap tempat telah ada ahli hukum yang
mempunyai pandangan sendiri tentang sumber hukum fiqh Islam selain Al-Qur’an.
Penolakan ini berarti pula bahwa Malik ibn Annas menghargai keanekaragaman
sumber hukum dalam pemecahan masalah pada situasi dan kondisi yang berbeda.
Walaupun demikian, al-Muwatta’ dipakai
juga oleh para hakim dalam menyelesaikan suatu perkara. Hakim Pengadilan Agama
Jakarta, misalnya mempergunakan al-Muwatta’
sebagai sumber pengenal hukum Islam dalam memutuskan perkawinan
Megawati-Hasan Gamal pada tanggal 17 Juli 1972. Kasus Megawati ini ramai
dibicarakan oleh para ahli hukum Islam pada akhir tahun 1972 sampai awal tahun
1973.[2]
2.
Dasar hukum yang digunakan oleh Imam Malik
a.
Al-Qur’an
Malik
menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber hukum yang pertama dan berada di atas yang
lainnya, karena dalam Al-Qur’anlah tertuang semua ketentuan hukum syara’ bagi
orang-orang mukallaf, yang ditetapkan langsung oleh syar’i. Al-Qur’an
memaparkan ketentuan-ketentuan hukum yang sudah jelas dan pasti, seperti
ayat-ayat muqadarah, dan ada pula yang perlu penjelasan Rasul. Kemudian,
ketentuan-ketentuan hukumnya itu juga dapat dijadikan rujukan dalam kajian
analogis, serta ada pula yang memberikan legalitas terhadap pemakaian
metode-metode kajian hukum tertentu.
b.
Al-Sunnah
Al-Sunnah
merupakan sumber hukum ke dua setelah Al-Qur’an, karena fungsi utamanya adalah
menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an yang mujmal, kendati dalam beberapa hal
Al-Sunnah menerapkan hukum tersendiri tanpa terkait pada Al-Qur’an. Malik lebih
mengutamakan sunah mutawatir, kemudian yang masyhur. Sedang hadits-hadits ahad
ia tinggalkan kalau bertentangan dengan tradisi masyarakat Madinah. Tapi kalau
tidak, dan norma-norma adat masyarakat Madinah itu tidak memberikan jawaban
apa-apa terhadap persoalan-persoalan furu’ yang dihadapinya, ia akan pergunakan
hadits ahad tersebut sejauh ma’mul bih.
c.
Tradisi
Masyarakat Madinah
Merupakan
sejumlah norma adat yang ditaati seluruh masyarakat Madinah. Oleh sebab itu,
tradisi tersebut biasa juga disebut sebagai kesepakatan (ijma) masyarakat
Madinah. Norma tersebut diangkat menjadi norma hukum Islam, karena punya akar
pada tradisi sahabat di zaman Nabi, dan terus diwariskan pada generasi
berikutnya secara turun-temurun. Ini menurut Malik lebih baik daripada hadits
ahad, sesuai dengan doktrin Rabi’ah, bahwa “seribu dari seribu lebih baik
daripada satu dari satu”.
d.
Fatwa
Sahabat
Malik
merujuk pada fatwa-fatwa sahabat, bahkan menurut Abu Zahrah, Malik melihatnya
sebagai hadits. Namun konsekuensinya, hadits seperti ini lemah karena sanadnya
terhenti pada sahabat. Oleh sebab itu, kalau bertentangan dengan hadits marfu’,
otomatis hadits-hadits tersebut tertolak.
e.
Qiyas,
Maslahah al-Mursalah dan Istihsan
Setelah
Al-Qur’an dan Al-Sunnah tidak bisa menjawab persoalan yang ada, begitupun
ijma’, serta fatwa sahabat, maka Malik akan mengkajinya dengan Qiyas.
Metodologi Qiyas Malik tidak berbeda dengan Abu Hanifah, hanya saja konsep
istihsannya berlainan. Kalau Abu Hanifah melakukan istihsan dengan mengalihkan
furu’ pada ashal yang lain yang ‘illatnya lemah, tapi hasil hukumnya lebih
baik, maka konsep istihsan Malik adalah beralih dari hasil Qiyas pada hasil
kajian maslahah. Sementara mashlahah al-mursalah sendiri menurutnya adalah,
menetapkan hukum untuk berbagai persoalan temporer dengan mempertimbangkan
maqasid al-syari’ahnya, yakni memelihara agama, jiwa, akal, harta dan
keturunan, yang proses analisisnya lebih banyak ditentukan oleh nalar mujtahid
sendiri.
f.
Al-Dzari’ah
Secara
semantic al-dzari’ah berarti sarana. Sedang menurut istilah ahli ushul fiqh
adalah sarana atau jalan untuk sampai pada suatu tujuan. Dan tujuan yang
dimaksud adakalanya perbuatan-perbuatan taat, dan adakalanya pula
perbuatan-perbuatan maksiat. Perbuatan taat berarti mashlahah, sedangkan
perbuatan maksiat berarti mafsadah.
Kalau
sarana itu membawa pada perbuatan-perbuatan taat, maka harus dibuka peluang
untuk melakukannya, yang dalam ilmu ushul lazim disebut sebagai fathu al-dzari’ah. Sedang kalau sarana
itu akan membawa pada perbuatan maksiat dan menimbulkan mafsadah, maka sarana
itu harus ditutup, yang dalam ilmu ushul lazim disebut dengan sad al-dzari’ah.
Imam
Malik, dalam hal ini, sering menetapkan hukum dengan melihat
kemungkinan-kemungkinan akibat yang akan timbul dari sesuatu perbuatan. Kalau
perbuatan itu kendati hukum asalnya boleh akan menimbulkan mafsadah atau
perbuatan-perbuatan maksiat, maka perbuatan tadi hukumnya menjadi haram, tapi
kalau akan menimbulka maslahah, maka perbuatan itu tetap boleh, atau bahkan
mungkin meningkat menjadi wajib.[3]
3.
Konstruk pemikiran Malik Ibn Annas
Sebagai seorang Faqih, Imam Malik tidak
gentar memberikan fatwa sekalipun harus berhadapan dengan khalifah yang
berkuasa yang tidak menyukai fatwa tersebut. Pernah dia diminta untuk
memberikan fatwa tentang talak yang dijatuhkan karena paksa. Beberapa ulama
lain berpendapat bahwa talak secara tadi dianggap sebagai talak yang sesungguhnya
sah meskipun dijatuhkan sacara paksa. Dalam hal ini, Imam Malik berkata bahwa
talak secara paksa itu tidak sah hukumnya. Ja’far bin Sulaiman, Gubernur
Madinah waktu itu dan saudara sepupu Khalifah al-Mansur, memerintahkan Imam
Malik agar tidak memberikan fatwa semacam itu. Akan tetapi, Imam Malik tetap
memeberikan fatwa sesuai pendapatnya ini sehingga Imam diganjar dengan hukuman
cambuk.
Sumbangan terbesar yang sudah diberikan
Imam Malik adalah kodifikasi Fiqh
Madinah, kemudian kitab al-Muwatta’.
Sebelum Imam Malik menulis kitab al-Muwatta’,
ia menulis beberapa kitab antara lain:
a.
Risalah ila Ibn Wahab fi al-Qodri
b.
Kitab
al-Nujum
c.
Risalah
fi al-‘Aqidah
d.
Tafsir
li Gharib Al-Qur’an
e.
Risalah
ila Al-Laits bin Sa’ad
f.
Risalah
ila Abi Ghisan
g.
Kitab
al-Sir
h.
Kitab
al-Manasik
Kitab al-Muwatta’ dimulai dengan bab
Shalat, dilanjutkan dengan hadist-hadist tentang sendi dan rukun Islam lainnya.
Dilanjutkan dengan berbagai aspek hukum sebagaimana yang diajarkan melalui
perintah-perintah Nabi SAW, dipahami dan diterapkan oleh para sahabat dan
tabi’in. Gaya kitab al-Muwatta’ yang ditulis Imam Malik sedemikian rupa,
sehingga dapat membantu pembacanya untuk pertama kali memahami apa yang dinyatakan Nabi SAW, tentang
sesuatu hal.
Dikarenakan sumber mutlak dalam syari’ah
yang berasal dari al-Qur’an dan Sunnah, maka setiap hadist yang bertentangan
dengan ajaran dan jwa al-Qur’an tidak dipandang sebagai hadist shahih melainkan
hanya merupakan kepalsuan. Imam Malik tidak hanya memasukkan pendapatnya sendiri
di dalam kitab al-Muwatta’ ini, tetapi ia juga memasukkan pendapat para sahabat
dan tabi’in di sana. Karena ada kasus yang tidak terjadi pada masa Nabi tetapi
terjadi di masa sesudahnya. Jadi al-Muwatta’ tidak hanya berisi hadist Nabi,
melainkan juga memuat fatwa lain karena memang tuntutan masyarakat menghendaki
demikian.
Penerapan Imam Malik yang tetap memulai
bahasannya tentang masalah hukum dengan mengutip hadist yang sesuai atau
penjelasan dari sahabat yang didasarkan pada sumber ini membuat kitab al-Muwatta’
paling otentik dan shahih. Kesungguhan Imam Malik dalam menekuni ilmu fiqh inilah yang telah menjadikannya sebagai
seorang panutan di bidang ilmu Fiqh sehingga ia dikenal sebagai pendiri salah
satu Madzhab Fiqh, yaitu Madzhab Maliki.
Madzhab Maliki telah menampakkan teori
maslahah mursalah dalam gambaran yang lebih umum. Mereka menjadikan istihsan
sebagai cabang dari maslahah mursalah yang
dikhususkan untuk keadaan yang berlawanan dengan aturan qiyas, di mana
menerapkan maslahah yang berlawanan dengan qiyas dapat menjauhkan kesulitan
yang ditimbulkan oleh qiyas. Ketika ide maslahah dalam dalam madzhab Hanafi
dianggap sebagai cabang dari istihsan dengan pembagian mereka yang
bermacam-macam terhadap istihsan, dan menganggap istihsan darurat sebagai cabang dari istihsan yang berlawanan
dengan aturan qiyas karena memelihara kemaslahatan dan menolak kesempitan.
Yang populer dari madzhab Maliki yaitu
mereka menganggap maslahah mursalah
sebagai sumber tersendiri. Nash-nash syari’ah telah menunjukkan demikian
sebagaimana dalam masalah qiyas. Hukum-hukum syara’ dibangun di atasnya ketika
dalam suatu peristiwa tidak ditemukan nash syari’ah atau qiyasannya. Maslahah mursalah merupakan dalil ketika
tidak ada dalil selainnya. Sebagaimana (maslahah
mursalah) berlawanan dengan qiyas yang bersandar kepada nash dalam
masalah-masalah yang serupa ketika penerapan qiyas membawa kepada pertentangan
dengan maslahah. Ini adalah keadaan yang tampak di sana pandangan terhadap maslahah mursalah dalam gambaran istihsan yang berlawanan dengan
tuntutan qiyas.
Orang-orang yang menjelaskan pendapat
mazhab Maliki mengenai istihsan dan istislah, seperti Imam Syatibi Abu Ishak
Ibrahim bin Musa, pengarang kitab al-Muwafaqat,
menetapkan bahwa Imam Malik memberikan tiga batasan yang dapat meniadakan
kekhawatirannya dan mencegah kekacauan berpikir dari jalannya, sehingga
criteria maslahah tidak mengikuti hawa nafsu dan syahwat. Tiga batasan tersebut
antara lain:
a.
Adanya
kesesuaian antara maslahat yang diperhatikan dengan maqashid al-syari’at¸di mana maslahat tersebut tidak bertentangan
dengan dasar dan dalil syara’ meskipun hanya satu;;
b.
Maslahat
tersebut berkaitan dengan perkara-perkara yang ma’qulat (rasional) yang menurut syara’ didasarkan kepada
pemeliharaan terhadap maslahat, sehingga tidak ada tempat (kajian) untuk
maslahat dalam masalah ta’abud dan
perkara-perkara syara’ yang sepertinya.
c.
Hasil
dari maslahah mursalah dikembalikan
kepada pemeliharaan terhadap perkara yang
daruri (primer) menurut syara’ dan meniadakan kesempitan dalam agama.[4]
4.
Shahabat-shahabat Malik Ibn Annas dan
pengembang-pengembang madzhabnya
Banyak ulama dari Timur atau Barat yang
berkunjung ke Madinah untuk menerima pelajaran dari Imam Malik. Di antara
ulama-ulama Mesir yang berkunjung ke Madinah, ialah:
a.
Abu
Abdillah Abdur Rahman ibn Al Qasim Al Utaqy (191H).
b.
Abu
Muhammad Abdullah ibn Wahab ibn Muslim (197H).
c.
Asyhab
ibn Abdul Aziz Al Kaisi (204H).
d.
Abdullah
ibn Abdul Hakam (314H).
e.
Asbagh
ibn Farj Al Amawi (226H).
f.
Muhammad
ibn Abdillah ibn Abdil Hakam (268H).
g.
Muhammad
ibn Ibrahim Al Iskandari yang terkenal dengan Ibnul Mawwaz (269H).[5]
Adapun ulama-ulama yang mengembangkan
madzhab Maliki di Afrika Utara, Spanyol ialah:
a.
Abdul
Hasan Ali ibn Ziyad at Tunisi (183H).
b.
Abu
Abdillah Ziyad ibn Abdir Rahman Al Qurthubi yang terkenal dengan nama Syabthun
(193H).
c.
Isa
ibn Dinar Al Qurthubi Al Andalusi (212H).
d.
Asad
ibn Al Furat (142-217H).
e.
Yahya
ibn Yahya ibn Katsir (234H).
f.
Abdul
Malik ibn Habib ibn Sulaiman As Sulami (238H).
g.
Sahnun
Abdus Salam At Tanukhi (240H).
h.
Abu
Marwan Abdul Malik ibn Abi Salamah Al Majisyun (212H).
i.
Ahmad
ibn Al Mu’adzdzal bn Ghailan Al Abdy.
j.
Abu
Ishaq Isma’il ibn Ishaq Al Qadly (282H).
Fuqaha-fuqaha
Malikiyah yang terkenal sesudah generasi di atas, ialah:
a.
Abul
Walid Al Bani (403-474H).
b.
Abul
Hasan Al Lakhmi (498H).
c.
Ibnu
Rusyd Al Kabir (520H).
d.
Ibnu
Rusyid Al Hafid (520-595H).
e.
Ibnu
Arabi (460-543H).
f.
Ibnu
Qasim ibn Jizzi pengarang kitab Al Qawaninul Fiqhiyah (741H).[6]
Pada masa sekarang ini, madzhab Maliki
berkembang di Maroko, Aljazair, Tunisia, Libya, dan di pedalaman Mesir, Sudan,
Bahrain, dan Kuwait.
Penganut madzhab ini kira-kira berjumlah
45 juta orang.
KESIMPULAN
Malik ibn Annas adalah seorang
ulama hadist, seorang faqih, seorang ahl ra’y,
seorang yang dikenal sebagai ulama Madinah karena dilahirkan di sana. Ia juga
mendirikan Madzhab Fiqh yaitu Madzhab Maliki. Ia menyusun kitab al-Muwatta’
yang otentik serta di dalamnya tidak hanya berisi mengenai hadist Nabi, namun
di dalamnya juga terdapat pendapatnya serta fatwa-fatwa para sahabat lain. Dalam
menyelesaikan perkara hukum, Imam Malik menggunakan Al-Qur’an, Al-Sunnah, Tradisi
Masyarakat Madinah, Fatwa Sahabat, Qiyas, Maslahah al-Mursalah dan Istihsan
serta Al-Dzari’ah. Imam Malik juga berhasil mendirikan Madzhab Maliki, yaitu
sebuah Madzhab Fiqh besar yang merupakan salah satu dari empat Madzhab terbesar
yang masih eksis keberadaannya sampai sekarang dan tersebar di Maroko,
Aljazair, Libya, Mesir Selatan, Sudan, Bahrain dan Kuwait.
DAFTAR PUSTAKA
Ali,
Muhammad Daud. Hukum Islam. Jakarta:
Rajawali Press. 1998.
Al-Zarqa, Musthafa
Ahmad. Hukum Islam & Perubahan Sosial
.Jakarta: Riora Cipta. 2000.
Doi, A. Rahman I. Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah
(syariah). Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2002.
Rosyada, Dede. Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1999.
Schacht,
Joseph. Pengantar Hukum Islam.
Jogjakarta: Islamika, 2003.
Shiddieqy,
M. Hasbi Ash. Pengantar Ilmu Fiqh.
Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Zuhri, Muhammad. Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis.
Yogyakarta: Tiara Wacana. 2011.
[1]. Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1999), hlm. 145.
[2]. Mohammad Daud Ali, Hukum
Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1998) hlm. 169-170.
[3]. Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1999), hlm. 147.
[4]. Musthafa Ahmad Al-Zarqa, Hukum
Islam dan Perubahan Sosial (Jakarta:
Riora Cipta, 2000), hlm. 66-67.
[5]. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar
Ilmu Fiqh (Jakarta: Bulan Bintang, 1993) hlm. 117.
[6]. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar
Ilmu Fiqh (Jakarta: Bulan Bintang, 1993) hlm. 118.
0 komentar:
Posting Komentar